Sabtu, 18 Juli 2009

koTak BAND


Histori :

KoTaK terbentuk tgl.27 September 2004 dalam acara The Dream Band
KoTaK dipertemukan oleh Yang Diatas sejak audisi The Dream Band di JakartaProduser (Dody-Kahitna) yg 'dah mengaudisi drummer, guitaris, bassis, vokalis dari kota Jakarta, dari peserta 400 orang vocalis menjadi 2 org, 170 bassis menjadi 2 org, ratusan guitaris menjadi 3 orangg, dan ratusan drummer juga menjadi 2 org And dari 9 orang yg lolos audisi, dibentuk 2 band yaitu KoTak yang personilnya 4 or ang, dan LiMa yg personilnya 5 org.


FRIENDSTER KOTAK

Konsep:


KoTaK aliran musiknya:”Modern Rock”





Arti Nama Kotak:

Kotak mempunyai empat personil dan itu symbol dari bangun kotak yang mempunyai empat titik sudut. Selain itu fariasi personil kotak sangat enak dipandang gays 2 cwe ma 2 cwo ya gak??? Dan mereka selalu akrab.

Berikut nama Personilnya:

Kotak I:

VoKAL : Pare











BasS : ICeS “PrinCes AmAnda”














GiTAr : CeLLa
















DruM : PoSan














KoTak New:


VokAL : TAnTri
















BAsS : ChUA (NEW)















GiTArISt : CeLLA “Mario MArCellA”

DrUm : PoSan “Haposan Haryanto Tobing”

So KoTAk Is : Dua CWe (Tantri n CHua) Dan dua Cwo (Cella n Posan) Pas YA???

Album 1 :

Kotak

1. Hilang
2. Terbang (khayal)
3. Damai hati
4. Kau Pilih Dia
5. Saat Ku Jauh
6. tentang Hidup
7. Remuk
8. Tanpamu
9. Phobia
10. Sendiri

Album 2 :

Kotak Kedua

1. Beraksi
2. Kosong Toejouh
3. Tinggalkan saja
4. Berbeda
5. Lagi-lagi
6. Tetap Ada
7. MAsih Cinta
8. Terluka
9. Mencintaiku dan dia
10. Bayang Abadi
11. Rock Never Dies
12. Kembali Untukmu


Singgle :

Ijinkan aku : Pare (Vokal ke-1)

Berikut Photo-Photo kotak:

KOtak new:











































Kotak Lama:





Kamis, 02 Juli 2009

ULANG TAHUN KETIGA LUMPUR LAPINDO
May 30, 2009 · 1 Comment



Tanggal 29 Mei 2009 ini telah tiga tahun warga daerah Sidoarjo menjadi terkenal dan “menikmati” liputan media massa seluruh Indonesia. Hal ini semata-mata karena daerah mereka telah menjadi kubangan lumpur yang menelan habis pekarangan, rumah, kantor, pabrik, sekolah, kehidupan, kebahagiaan, dan masa depan mereka. Hingga kini mereka masih “menikmati” udara terbuka dibawah tenda-tenda pengungsian. Bahkan konon tak ada lagi pihak, baik pemerintah daerah maupun pihak Lapindo, yang memberikan mereka kebutuhan pangan sehari-hari.


Menurut ulasan harian Kompas (Jumat, 23 mei dan Rabu 28 Mei 2008), pembayaran uang muka 20 persen bagi korban yang memilih pola ganti rugi cash and carry saja belum tuntas hingga kini. Sebagai catatan pola pembayaran demikian, yang berarti sama dengan jual-beli, adalah sebuah kejanggalan karena sesungguhnya tidak ada niatan dan rencana warga untuk menjual tanah mereka. Artinya warga secara tidak langsung dipaksa untuk menjual harta miliknya. Lebih kacaunya lagi, menurut Peraturan Presiden No 14 tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (BPLS), 80 persen sisa pembayaran sudah harus dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah dua tahun habis. Menurut kabar PT Minarak Lapindo Jaya sebagai juru bayar Lapindo Brantas, Inc. berencana mulai membayar ganti rugi pada Rabu 28 Mei. Menurut kabar terakhir Rabu malam ganti rugi tersebut mulai dibayarkan (Metro TV), dan ketika memasuki hari kedua (Kamis 29 Mei) Lapindo Brantas melalui PT Minarak melunasi 21 berkas sejumlah Rp. 2.1 Milyar. Pembayaran ganti rugi ini juga belum menyentuh kerugian yang diderita oleh para pengusaha disekitar Sidoarjo yang harus memindahkan lokasi pabrik atau tempat usaha mereka (Koran Tempo, 28 April 2008). Diharapkan pembayaran ini dapat terus dituntaskan, bukan sekedar window display untuk publikasi ke media massa selama “ulang tahun ke-2” semburan lumpur Lapindo. Sementara itu terdapat 580 keluarga korban yang menolak syarat akta jual-beli untuk pelunasan 80 persen. Syarat ini sangat aneh mengingat kasus tanah tanpa akte jual-beli masih sangat umum di IndonĂ©sia ( editorial Koran Tempo, Jumat 30 Mei). Selain urusan bayar-membayar, Perpres tersebut juga tidak memuat pertimbangan bahwa semburan lumpur akan terus berlangsung menggenangi daerah Sidoarjo dan sekitarnya. Sehingga ketika lumpur merambah 12 desa lainnya di luar peta terdampak yang ditetapkan Presiden, Lapindo tidak merasa perlu untuk memberikan ganti rugi pada ke-12 desa tersebut. Pada akhirnya pemerintah – dengan uang rakyat – yang akan membayar ganti rugi tersebut.


Tentu saja tragedi lumpur Lapindo ini sangat menyakitkan hati nurani bangsa Indonesia. Terlebih lagi melihat kenyataan bahwa salah satu pemegang saham Lapindo Brantas Inc, sebagai pengelola sumur penghasil lumpur tersebut adalah seorang Menteri Koordinator yang bertugas mengurus kesejahteraan rakyat dan, bahkan, merupakan salah satu orang terkaya di Indonesia. Bahkan sudah sepantasnya SBY menonaktifkan untuk sementara Aburizal Bakrie sebagai Menko Kesra, mengingat potensi munculnya konflik kepentingan sangat besar. Hal ini menjadi rancu ketika dalam banyak kesempatan Aburizal mengeluarkan pernyataan terkait dengan kasus lumpur Lapindo. Rakyat menjadi bingung, apakah Aburizal berpendapat sebagai pemegang saham Lapindo Brantas, ataukah sebagai Menko Kesra. Carut-marut kasus lumpur Lapindo ini menunjukkan rendahnya perhatian SBY terhadap manajemen dan akuntabilitas kabinetnya, selain juga rendahnya rasa tanggung jawab SBY terhadap rakyatnya yang sedang dirundung musibah selama dua tahun ini.


Lonceng “kematian” warga korban lumpur Lapindo sebenarnya juga dibunyikan bersama-sama dengan jajaran Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, serta tidak ketinggalan para wakil rakyat. Mereka serempak menyatakan bahwa semburan lumpur Lapindo adalah fenomena alam, bukan kesalahan Lapindo Brantas. Tinggalah rakyat Sidoarjo yang teraniaya menunggu Godot. Lalu apa yang harus dilakukan oleh masyarakat sipil di indonesia atas tragedi kemanusiaan ini? Pertama tentu saja, menyelamatkan nasib para pengungsi korban lumpur Lapindo. Mulai dari menyediakan kebutuhan pokok untuk hidup sehari-hari mereka, makanan dan sandang, hingga pemukiman sementara yang lebih memadai. Bila tak ada lagi jalan untuk membela para korban lumpur Lapindo maka tidak tidak tertutup kemungkinan “Gerakan Anti Politikus Busuk” perlu meneliti ada-tidaknya politikus atau pemimpin disekitar kasus ini yang lalai dari tanggung jawab, bahkan menyebabkan kesengsaraan dan pemiskinan warga Sidoarjo, sehingga tergolong “politikus busuk”.


Hal yang terakhir, untuk mereka yang mengaku pemimpin bangsa, baik yang terlibat dalam jajaran pemerintahan maupun yang duduk di partai, hentikan tebar pesona melalui iklan-iklan di berbagai media komunikasi visual yang menyatakan diri mereka peduli terhadap nasib bangsa ini. Karena biaya pemasangan iklan tersebut lebih baik disumbangkan pada para pengungsi korban lumpur Lapindo. Bila seorang Soetrisno Bachir sebagai Ketua Umum Partai Amanat Nasional berani mengiklankan dirinya dengan memanfaatkan penggalan puisi Chairil Anwar yang sangat indah (“Hidup adalah Perbuatan” dan “Sekali berarti sesudah itu mati”) di begitu banyak media massa, maka para korban lumpur Lapindo perlu menanyakan apa yang telah Soetrisno Bachir perbuat – bersama para pemimpin partai politik lainnya - untuk membela korban lumpur. Jangan sampai keindahan puisi tersebut menjadi sebuah penanda (signifier) tanpa petanda (signified).

Categories: Korban Lumpur Lapindo · Ulasan
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda