Iklim
Apa yang bisa disumbangkan matematika dalam meramal iklim? Tulisan feature American Mathematical Society (ams.org) bulan April membahas bagaimana eksplorasi dalam matematika menjawab pertanyaan tersebut. Berbeda dengan cuaca yang memiliki rentang lebih singkat, iklim menyangkut perhitungan dan pengamatan dalam waktu lama, dan dengan demikian, apa yang terjadi dalam beberapa hari, minggu atau bahkan tahunan belum memberikan gambaran mengenai perubahan iklim.
Untuk memahami iklim dengan menggunakan perangkat matematika, menarik melihat bagaimana matematikawan berinteraksi dengan permasalahan iklim. Tak berbeda jauh dengan bagaimana matematikawan membuat persamaan-peramaan probabilitas ketika sedang bermain poker, atau bagaimana Newton mengembangkan kalkulus sebagai bagian untuk memahami gravitasi dan gerak planet, atau Euler yang menulis persamaan untuk menjelaskan posisi optimal dalam pelayaran, persamaan-persamaan yang digunakan dalam memahami iklim juga dikembangkan dari ketertarikan para matematikawan untuk memahami iklim. Dan salah satu konsep yang digunakan adalah game theory (teori permainan) … Meski konsep ini dikembangkan dari ekonomi dan politik, teori permainan digunakan untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan iklim. Kelebihan teori ini untuk melakukan abstraksi dan generalisasi menyebabkan teori ini mampu masuk dalam berbagai bidang.
Bagi seorang matematikawan, hal pertama yang dilakukan ketika melihat suatu fenoma adalah menciptakan sebuah model. Model matematika ini disederhanakan sebagai re-presentasi dari realitas yang kompleks. Nilai-nilai yang terkandung dalam suatu model adalah ‘prediksi’ atau ‘kesadaran’ mengenai apa yang terjadi. Basis inilah yang digunakan sebagai titik mula dalam melakukanuji model dan memperbaiki model.
Post to: delicious, Digg, ma.gnolia, Stumbleupon
Matematika: Kuantitatif atau Kualitatif?
Salah satu dugaan yang sering dialamatkan kepada matematika adalah kuantitatif. Dugaan ini mengental dalam ranah sosial, karena irisan mereka dengan matematika pada umumnya diperoleh dari statistika. Padahal untuk orang analisis dan aljabar yang banyak bermain dalam ruang, lapangan, dan gelanggang, anggapan ini sama sekali tidak cocok. Pembuktian menggunakan induksi umumnya lemah dan memiliki banyak asumsi agar kondisi tersebut berlaku. Hal lain adalah, induksi pun dibentuk oleh proposisi yang notabene kualitatif.
Menurut penelitian yang dilakukan terhadap 710 artikel dalam pendidikan matematika yang dipublikasi dalam jurnal pendidikan matematika periode 1995-2005, 50% studi menggunakan metode kualitatif, 21% menggunakan metode kuantitatif dan 29% menggabungkan metode kualitatif dan kuantitatif (Hart et.al, 2009). Terkait dengan pendidikan matematika, hasil studi ini mungkin tidak per se mencerminkan bagaimana karakteristik matematika. Untuk pendidikan anak, psikologi yang bergerak dari kualitatif merupakan salah satu contoh bagaimana kualitatif menjadi penting. Namun di sisi lain, angka tersebut juga menunjukan kecendrungan untuk menjelaskan fenomena dalam pendidikan matematika sebagai kualitatif.
Dengan menggunakan asumsi bahwa pendidikan matematika dilakukan oleh orang matematika–khususnya karena memang ada minor tentang pendidikan di matematika–maka dominasi pendekatan kualitatif juga tercermin dari hasil riset ini
Post to: delicious, Digg, ma.gnolia, Stumbleupon
Joke Matematikawan
Matematika sering dipandang objektif. 1+1 dalam sistem desimal akan memberikan hasil 2, tak peduli Anda berasal dari belahan dunia mana. Hal ini memberi salah satu keuntungan jika Anda ingin bersekolah di luar negeri, karena simbol pada umumnya bersifat universal. Tapi kalau joke (lelucon) matematikawan, lucunya bersifat universal ngga ya? Tadi pagi saya menemukan situs lucu tentang teka-teki para matematikawan
Q: Why is math a violent subject A: Because it has mean values, cross products and warring fractions.
Q: What is a dilemma? A: A lemma that proves two results.
Q: What is the square root of ab? A: Absurd.
Q: How does a mathematician induce good behavior in her children? A: I’ve told you n times, I’ve told you n+1 times… taken from: http://www.onlinemathlearning.com/math-riddles-collection.html
Lucu banget, apalagi yang terakhir… tidak terbayang anak-anaknya akan jadi seperti apa..
Post to: delicious, Digg, ma.gnolia, Stumbleupon
Tentang Matematikawan
Seseorang pernah menanyakan mengapa saya memilih jurusan Matematika pada tingkat sarjana. Motivasi saya sederhana, matematika memungkinkan saya tak perlu banyak belajar. Berbeda dengan biologi, kimia, sejarah, Pancasila dan beragam pelajaran lainnya yang membutuhkan ketekunan dalam menghabiskan lembar-lembar teks dan melakukan pengulangan agar teks tersebut terekam di kepala, matematika memungkinkan saya untuk tak melakukan semuanya jika sudah mengerti. Namun ketika saya mulai kuliah di matematika, prinsip itu ternyata tidak berlaku. Diperlukan waktu cukup banyak agar suatu materi dimengerti. Bahkan adakalanya menghapal rumus merupakan alasan yang masuk akan daripada menurunkan rumus yang bisa sampai berlembar-lembar.
Melihat kehidupan matematikawan rasanya pandangan awal saya ada benarnya. Di buku Kalkulus karangan Purcell tampak sebuah pola bagi kehidupan matematikawan yang umumnya berasal dari kalangan bangsawan. Memikirkan sesuatu yang tidak terkait langsung dengan permasalahan praksis sehari-hari merupakan sebuah kemewahan. Pola lain adalah matematikawan paruh waktu, seperti Fermat yang berprofesi sebagai ahli hukum. Hal yang menarik adalah keterkaitan antara matematika dan filsafat. Beberapa matematikawan, selain dikenal karena sumbangsihnya dalam dunia angka, juga dikenal sebagai filosof. Rene Descartes selain menyumbangkan bagian namanya untuk kurva Cartesian, juga dikenal sebagai Bapak filsafat modern. Dan dari sejarah filsafat, memang terlihat keterkaitan antara bangunan matematika dengan bagaimana manusia memandang alam dan dirinya sebagai bagian dari keseluruhan.
Adanya keterkaitan antara cara pandang matematikawan dengan penemuan-penemuan mereka membuat saya sadar bahwa bukan kecerdasan yang membuat mereka dapat merumuskan formula-formula canggih, melainkan bagaimana semuanya menyatu dalam kehidupan mereka. Waktu yang terus digunakan untuk berpikir. Tak masalah jika munculnya terasa ajaib seperti Archimedes di bak mandi atau Newton di bawah pohon apel.
Post to: delicious, Digg, ma.gnolia, Stumbleupon
Realitas Fisik berdasarkan Matematika
“Perhitungan dengan kecermatan tingkat tinggi dari massa partikel yang saling berinteraksi, didasarkan pada teori dasar, merupakan kesepakatan menuju kebenaran tua yang menyatakan realitas fisik merupakan wujud dari hukum-hukum matematika.” Kata-kata ini menjadi judul dari “News and Views” Frank Wilczek yang dimuat majalah Nature edisi 27 November 2008. Wilczek, yang meraih penghargaan Nobel pada tahun 2004 mengomentari laporan dari majalah Science yang ditulis oleh Stefan Dürr dan koleganya yang berjudul “Ab Initio Determination of Light Hadron Masses.” Quantum Chromodynamics (QCD) merupakan analog dari gaya kuat (strong force) dari Quantum Electrodynamics (QED) untuk elektromagnetik: teori lapangan kuantum yang membuat perkiraan dengan meminimalisasi integral terhadap ruang tamu dari aksi terhadap segala peluang konfigurasi yang mungkin dengan kondisi awal tertentu. Metode perturbatif (seperti diagram Feynmann) yang bekerja dengan baik dalam QED tidak bisa diperluas hingga QCD. Satu-satunya peluang yang mungkin adalah dengan menggunakan simulasi komputer dari teori yang merupakan tugas berat dan melibatkan perhitungan yang sangat pelik. Wilczek mendefinisikan kondisi ini sebagai “batas dari kecerdasan dan tenaga komputer.” Dürr et al. masukan masukan tiga parameter (masa dari tiga cahaya quarks) dan gunakan teori untuk menghitung masa dari cahaya hadron lainnya (subjek partikel darigaya kuat), termasuk proton dan neutron, penyusun kepingan dari realitas.
Jadi… karena nyaris mustahil melakukan segala sesuatunya dengan eksperimen, kita semua berdiri di atas perhitungan komputasi. Waa… social construction of reality based on mathematics. So entertaining isn’t it?
Post to: delicious, Digg, ma.gnolia, Stumbleupon
Otong dan Nyamuk
Suatu kali Otong mendapat teka-teki tentang nyamuk dari milis. Gara-gara membaca teka-teki itu, Otong pusing tujuh keliling, bagaimana murid-murid itu bisa menebak nyamuk yang ditangkap oleh bu Guru. Berikut ini adalah teka-tekinya…
Suatu hari ada sebuah perguruan “JAGO TANGKAP NYAMUK”…,terdapat seorang guru dan 4 orang murid. Murid-murid dikumpulkan di sebuah lapangan. Kemudian sang guru memulai aksinya.
Plak plok plak plok plak plak, sang guru menepuk-nepukan tangannya dan kemudian bertanya, ” berapa nyamuk yang saya tangkap?”. Murid pertama yang merupakan murid terhebat menjawab, “ada 5 nyamuk guru..”.
Sang guru dengan senang hati menjawab, “benar.. “. Dan sang guru kembali memulai aksinya. Plak plok plak plok plak plak, sang guru menepuk-nepukan tangannya dan kemudian bertanya, “Sekarang ada berapa?”. Murid kedua dengan percaya diri menjawab, ” ada 3 nyamuk guru..”. Sang guru dengan senang hati menjawab, “benar.. “. Dan sang guru kembali memulai aksinya. Plak plok plak plok plak plak, sang guru menepuk-nepukan tangannya dan kemudian bertanya , ” Gimana kalau sekarang, kira kira ada berapa?”. Murid ketiga dengan ragu pun menjawab, ” ada 7 nyamuk guru..”. Sang guru dengan senang hati menjawab, “benar.. “. Dan sang guru kembali memulai aksinya.
Plak plok plak plok plak plak, sang guru menepuk-nepukan tangannya dan kemudian bertanya , “Sekarang berapa?”. Nah, ada yang bisa membantu Otong?
taken from math-islam mailing list
Post to: delicious, Digg, ma.gnolia, Stumbleupon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar